Berbeda halnya dengan kelompok A yang cenderung santai, owa jawa dari kelompok B jauh lebih aktif dan harmonis. Kelompok ini terdiri dari Kumis (parent), Kety (parent), Kimkim (adult), Komeng (subadult), serta Kendeng (infant) yang memiliki home range terluas dan berbatasan dengan kelompok A maupun S. Mereka senang sekali menghabiskan waktu untuk makan di satu pohon yang sama, kemudian sang induk bersantai dengan melakukan allogrooming, sedangkan Kendeng sang bayi seringkali mengikuti langkah Komeng sang kakak ketika bermain. Keluarga ini lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk berpindah-pindah atau berpatroli bersama sambil sesekali singgah untuk makan. Mereka pun menjadi kelompok favoritku karena keluarga inilah yang peling gemar mengeluarkan nyanyian indahnya atau great calling. Lalu pada suatu hari pengamatan, Kumis dan Kety terlihat sedang kawin. Kami jadi tidak sabar menanti kehadiran adik baru Kendeng.

Kelompok terakhir yang juga paling misterius bagiku dan Osa adalah kelompok S. Kelompok yang terdiri dari Sahri (parent), Surti (parent), Sanha (adult), dan Setia (infant) ini memiliki home range dengan jarak terjauh dari Rumah Owa serta medan yang paling menantang. Pertama kalinya kami mengamati kelompok S, kami menjumpai Sahri, Surti, dan Setia berada pada pohon yang saling berdekatan. Namun, kala itu Setia sudah berani mengeksplorasi seorang diri di luar gendongan Surti sang Ibu. Selama 20 menit observasi, Surti berada di bagian pohon tertinggi tanpa banyak bergerak hingga akhirnya Kang Isra mengejutkan kami…
“Ada bayi! Ada bayi! Eta ada bayi baru digendong si Ibu!”
Kami pun serentak mengamati kembali Surti dengan seksama menggunakan binokuler kami masing-masing. Ah benar, ada bayi berukuran kecil yang sudah mulai ditumbuhi rambut dalam gendongannya. Kata para asisten, sudah beberapa lama ini mereka tidak bisa menjumpai kelompok S karena faktor cuaca, dan kala itu Surti belum mempunyai bayi. Berdasarkan perubahan fisiknya, kami menduga bayi tersebut sudah berusia sekitar satu bulan.

Hari itu kami pun lekas memberi kabar pada Kak Toa sembari mendokumentasikan si bayi baru dengan kamera, kemudian kami memutuskan untuk pulang. Hal ini kami lakukan agar Surti tidak merasa takut bergerak bebas bersama bayi dalam gendongannya ketika kami amati. Setidaknya kami harus mengubah jadwal dan baru bisa mengamati kelompok S lagi setelah 1-2 minggu kedepan.
Bukan hanya disuguhi oleh berbagai kejutan. Perjalanan kami untuk bisa mengamati perilaku sehari-hari owa jawa juga memiliki berbagai tantangan. Kami tak selalu bisa berangkat tepat waktu karena cuaca yang seringkali hujan dan berkabut. Lalu jalur yang kami lewati penuh longsoran atau berupa tebing yang curam, melewati sungai berlumpur atau berarus deras, tak sekali dua kali kami terpeleset atau bahkan tersangkut rotan, serta mendapat “penumpang gelap” penghisap darah yaitu pacet. Namun, perjalanan mendaki gunung dan melewati lembah tersebut rasanya terbayar tuntas dengan rasa bangga karena bisa melihat owa jawa yang beraktivitas di alam bebas sebagaimana mestinya
Sejak pertama kali menginjakkan kaki dan menjatuhkan hati pada tempat ini, Halimun selalu saja menyuguhkanku dengan berbagai kejutan tak terlupakan, juga pengalaman berharga yang tak tergantikan. Namun, satu hal paling berharga yang membuatku nyaman berada disini adalah bagaimana tempat ini bisa membuatku merasa hidup kembali. Terima kasih Halimun!

Ini hanyalah secuil kisah dari banyaknya hal menarik yang kami rasakan selama Petualangan di Jantung Halimun. Masih ada cerita mengenai sosok ular naga, jamur nyala yang eksotis, pohon yang berdarah, tragedi jatuhnya drone, kolecer sang kebanggaan, begonia battle, petualang cilik pengisi akhir pekan, dan maaasih banyak lagi! Nantikan cerita selanjutnya atau kamu akan menyesal 😀